Halaman

Rabu, 22 Januari 2014

Suara-suara

Mereka datang lagi dari balik malam
Masih dengan rayuan yang sama
Mengajakmu larut dalam zikir hujan
Menelisik sembunyi bintang-bintang

Suara-suara lonceng berdentang dari surga
Suara-suara bara berderik dari neraka
Halusinasi itu kuciptakan sendiri
Berasal dari kekalutan pikir-ku yang kusut

Hai Azazil yang mulia, kini aku tahu kau di sana
Bertahta diraja dalam jiwa
Sembunyi takut kentara
Bersama anggun-mu itu
Kau kirim tentara-tentara!

Selasa, 21 Januari 2014

Antara sakit-nya Bumi dan perasaan saya

Sejak kemaren Bumi kecil kami sedikit rewel, badannya panas, demam ringan saja sebenarnya. Ini pengalaman pertama saya sebagai ayah menghadapi anak yang sakit.

Pagi tadi kami ke dokter, Bumi diberi obat, saya cek satu-satu, tidak ada obat keras. Setelah minum obat, panas nya turun, dan dia sudah bisa tertawa lagi, sekarang sudah tidur di bawah pengaruh obatnya. Saya lega :)

Kejadian hari ini membawa ingatan saya pada peristiwa belasan tahun silam. Saat itu saya masih smp, dan tangan saya harus dioperasi karena terkena senjata tajam. Malam sebelum operasi, papa di samping saya, saya terbangun lewat tengah malam, dan saya lihat matanya menerawang, tangannya menggenggam tangan kanan saya yang tidak terluka, dan ada air mata dari sudut matanya.

Setelah kuliah, saya banyak
Membaca hubungan antara anak dan orang tua. Bagaimana kasih sayang orang tua pada anak nya. Tapi malam ini saya sadar, tentu kau terlalu sombong untuk merasa mengerti tanpa merasakan. Perasaan, adalah sesuatu yang tidak akan kau temukan di buku-buku.

Ini kali pertama aku menyaksikan anak-ku sendiri yang sakit. Meskipun aku tahu itu sakit biasa, tidak lebih karena cuaca, tapi perasaan cemas yang datang, sedih melihat cerianya yang hilang, ah... Ada sejuta lagi dan kata-kata tidak cukup mewakilinya. Aku mahfum, kelak hari-hari kami akan dipenuhi perasaan seperti ini. Perasaan yang sudah ku baca dari gibran, dari dylan, dari Ibrahim.

Papa ketika itu tentu dengan perasaan sejenis ini di hatinya. Aku mulai mengerti sedikit tentang itu. Lalu dia harus melepas lelaki kecilnya bertualang ke bandung menuntut ilmu, kelak mungkin aku akan menghadapi kejadian serupa dan aku tidak yakin akan bisa sebijak dia saat melepas ku ketika itu.

Mengenali perasaan ini membuat ku merasa menjadi pendosa. Hubungan kami turun naik seperti gelombang, dan aku bersyukur di penghujung hidupnya kami sedang dalam frekuensi yang sama. Tapi mengingat kami pernah bertengkar, betapa bodoh dan keras kepalanya saya ketika itu, ah... Saya mulai membayangkan Bumi kelak bertingkah selaku saya ketika itu, dan hati saya sakit sekedar membayangkan nya saja. Bagaimana saya bisa mengerti sakitnya perasaan papa ketika saya pergi dari rumah, ketika saya membantah dengan sombong yang jumawa. Pasti sakitnya ribuan kali dari apa yang bisa saya bayangkan. saya kemudian sadar bahwasanya saya yang dulu sesungguhnya menyakiti diri saya sendiri!

Tapi  begitulah yang sudah digariskan, tidak ada yang perlu dan layak untuk disesali.

Saya mengangkat telpon, menelpon mama di seberang sana. Tuhan masih meninggalkan kekasih papa sebagai tempat berpulang bakti kami yang tertunda kepadanya.

Senin, 13 Januari 2014

Azazel by youssef ziedan



Entah apa yang ada dalam pikiran Ziedan, yang jelas selaku pembaca yang mengenal baik kredo ke-imanan kristen ortodok serta konsep trinitas-nya, saya merasa cukup terusik. Ya, saya akan mengakui dengan segala kegilaan-nya novel ini akan sangat mengganggu, dan dia berhasil dengan itu.

Ziedan seperti menertawakan konsep pengejawantahan tuhan menjadi tunggal dalam diri al-masih melalui si rahib Hypa yang malang beserta kawan nya Nestor. Tapi katakter yang terang-terangan tertawa tentu Oktavia, si pembantu penyembah berhala dari alexandria.

Ini hanya sebuah resensi atas karya ziedan, karena itu saya tidak akan membahas kebenaran konsep atau pendapat saya mengenai pemikiran Hypa sang tokoh utama.

Karakter Hypa sebagai narator nyaris tidak terasa selain penderitaan-nya, tapi tidak demikian karakter lain, oktavia yang binal, hypatia yang terpelajar, atau martha sang kekasih yang merindu tergambarkan dengan luar biasa. Kau seolah dapat merasakan betapa oktavia adalah perempuan yang kritis atas agama orang lain, atau betapa brilian dan tegas nya Nestor sang uskup konstatinopel lewat penggambaran serta dialog Hypa.

Azazil bagaimanapun dimunculkan dalam diri Hypa. Ziedan menurut saya dengan sangat halus berhasil menyatukan Azazil dan Hypa dengan baik.

Novel ini ditulis dengan pengetahuan sejarah yang baik. Semua peristiwa yang menjadi latar belakangnya tersusun dalam sekuen yang rapi.

Kalau saya kritikus, mungkin saya akan mengkritik bagian akhir buku ini. Ziedan menurut saya terjebak dalam jalinan kisah Hypa dan Martha. Kisah yang digadang-gadangkan menjadi beban berat Hypa ternyata tidaklah semegah jatuhnya Nestor, tewas nya Oktavia, penjagalan hypatia, atau kenangan suram masa kecil nya.

Ada banyak keberanian, kau akan sangat sedikit mendengar novel yang menuliskan injil barnabas, versi terlarang itu di dalam-nya.

Latar belakang yang sempurna, kisah sang rahib bisa menjadi teman perenungan yang baik, tapi jangan berharap anti klimaks sekelas Hemingway. Jonathan stroud saja akan menulis penutup yang jauh lebih bagus untuk kisah nya!

Minggu, 12 Januari 2014

Apakah

Apakah kau pecinta yang haus menyesap madu dari bibir kekasihmu?

Ataukah kau hanya penikmat hujan yang bingung dengan pertanyaan hendak jadi apa?

Apakah kau pejalan yang sesungguhnya tak tahu hendak menuju apa?

Apakah selayaknya bahtera di gelombang yang tak pernah bisa kau pahami?

Apakah kau golongan yang sama dengan kami? Generasi tanpa eksistensi?

Apakah kau telah sampai juga pada kegamangan jati diri, hingga membiarkan tubuh fana mu di permainkan arus hidup yang cantik molek memikat hati?

Kapadamu kawan-kawan ku seperjalanan, sesungguhnya kita telah tahu, kiranya tidak ada jawaban pasti dari seluruh pertanyaan itu. Hanya saja, jiwa dan rasio mu enggan mengakui... Dan kita terus membiarkan beragam entah yang tak terjawab ini bertahta di langit yang tinggi!

Rabu, 08 Januari 2014

Kesekian kali

Ini entah kali keberapa aku duduk diam di sini
Memandang gerbang parkir istana intelektualitas kami
Entah sudah berapa kali saya berdiam di bawah pohon tua yang menjulang ini, ditemani kopi dan rokok serta lalu lalang yang tak acuh
Pagar batu membentengi kami dari masyarakat sekitar
Keilmuan menjadikan kami berbangga diri
Lupa kewajiban untuk berbakti

Ini sudah entah berapa kali saya sampai pada pemikiran ini
Dan untuk keselian kalinya itu saya tambahkan sekali lupa setelah diingatkan lagi!

Goblok!

Selasa, 07 Januari 2014

KAPPA by Ryunosuke Akutagawa



Ya, ini karya sang maestro di dekat-dekat bunuh diri nya yang hampa. Saat ia diserang halusinasi dan mimpi-mimpi.

Kisah seorang manusia yang tersesat di dunia para kappa, makhluk mitos jepang yang bentuknya seperti manusia katak berparuh dengan lubang berisi air di kepalanya.

Kappa ditulis dengan satire yang sangat kentara. Dia mengusik dan menyentil banyak kejanggalan sosial yang lazim di Jepang pada masa itu. Seperti dikutip dari ryunosuke sendiri ; " kappa lahir dari kemuakan saya denga banyak hal- khususnya dengan diri saya sendiri".

Konsep kelahiran bayi kappa yang bisa memilih untuk lahir atau tidak, kanibalisme yang dilazimkan dalam dunia kappa, keagamaan, kematian, hubungan jantan-betina, konsep penciptaan ah... Kau akan menemukan begitu banyak keajaiban dalam dunia yang diciptakan oleh Ryunosuke.

Para feminis bisa jadi merah membaca hubungan jantan-betina yang menyindir mereka habis-habisan. Soe hok gie akan merubah puisinya bahwa yang paling berutung bukan mereka yang mati muda, tapi mereka yang bisa memilih untuk lahir atau tidak. Atau kau sendiri mungkin akan mengajukan kembali banyak pertanyaan pada apa-apa yang kau yakini.

Pilihan kalimat dalam novel pendek ini tidak berbunga-bunga, mendekati tidak indah malah, deskripsi yang detail dalam narasi yang sederhana. Karakter juga dikesankan sangat sederhana. Tapi kekuatan dari kisah ini ada dalam jalinan secara keseluruhan, konsep-konsep agung dijejalkan dalam kepadatan yang luar biasa tanpa harus menjadikan nya megah.

Sedikitnya referensi sastra jepang yg saya baca membuat saya agak sungkan menulis resensi ini. Saya tidak dapat menemukan perbandingan yang tepat. Ziedan atau Dan Brown di masa sekarang Yang hidup jauh dari kultur jepang juga menjejali konsep-konsep kemanusiaan luar biasa dalam karya-karya mereka, menjadikannya buku-buku tebal dengan kisah-kisah agung yang besar. Kappa tidak menjadi demikian, dia tetap bersahaja dalam keagungannya.

Ada banyak materi filosofis dalam karya ini. Ada Nietszche sang orang suci yang mencari keselamatan dalam superman yang ia ciptakan sendiri. Ada Wagner, bahkan Tolstoy yang juga tidak luput dikomentari dengan tajam oleh Ryunosuke.

Melalui Kappa saya pikir Ryunosuke bermain-main dengan alam pikirannya. Dia membolak-balik segala keyakinannya. Dia berada dalam kegamangan eksistensi-nya, dan dengan mudah karya ini mengguncang eksistensi pembacanya.

Kemudian dihalaman belakang buku terjemahan dalam bahasa indonesia ini penerbitnya mencantumkan kisah Ryunosuke sendiri yang tidak kalah menarik dengan fiksinya ini. Sebuah tambahan yang sangat berguna menurut saya.

Saya sudah mendekati akhir. Setelah menyelesaikan buku ini saya mencoba menanyakan pada diri saya sendiri pertanyaan yang kerap diajukan para kritikus tentang KAPPA ini; ... Apakah ini cerita anak-anak atau karya sosialis?

Sungguh, saya tidak tahu jawabannya, sama sekali saya tidak punya ide.

Yang jelas, saya mengagumi karya Ryunosuke ini dan layaklah Akutagawa prize yang bergengsi menggunakan nama-nya!

Rabu, 01 Januari 2014

Membaca

Rasanya akhir-akhir ini saya jarang sekali membaca. Ingat dulu ketika kecil saya menghabisi perpustakaan smp di mana ibu saya menjadi seorang guru di situ. Di perpustakaan kecil itu mungkin hanya ada sekitar 500 buku saja, dan untuk usia sekolah dasar di kampung kami, saya termasuk beruntung menyelesaikan hampir seluruh buku-buku di sana kecuali buku2 asing yang tidak lebih dari 10% saja -saat itu saya tidak bisa membaca dalam bahasa inggris-. Ketika mama mengajar, saya kadang menunggu-nya di kelas, tapi lebih seringnya di perpustakaan menyantap ramayana, tagore, gibran, chairil anwar, hingga Muchtar Loebis. Bahkan ibu saya tidak menyadari kalau anak nya sudah menghabisi hampir semua judul di perpustakaan itu.

Tapi minggu-minggu ini saya mulai bergairah, ah iya saya merasa produktif menyelesaikan satu karya akutagawa dan sekarang sedang membaca karya ziedan yang di bilang Dan Brown nya mesir. Dan saya berjanji akan meresensikan nya sesegera mungkin :)

Ah, ini post yang tidak penting sama sekali. Tapi saya lagi-lagi merasa ingin menuliskan nya. Itu saja :)