Halaman

Minggu, 24 April 2011

Tentang Cinta (lagi....)

Ini bukan kereta terakhir, 6.20 bogor menuju jakarta. Kelas rakyat jelata, 2000 rupiah hingga stasiun kota.

Sepasang kekasih harus berdiri, tempat duduk telah penuh. Peluh, lelah, hangat cinta mengalir jadi satu. Berpelukan dalam selimut gaib milik mereka sendiri.

Teriakan pedagang, bising mesin kereta, dan riuh rendah suasana bukan apa-apa. Mereka larut dalam pelukan yang seakan abadi... Menampar kita yang merasa berada, meski miskin waktu bertemu, meski terkungkung mimpi-mimpi duniawi...

Memerdekakan diri ternyata bukanlah hal yang mudah. Aku mencatat dalam diam, seorang pecinta harus merdeka dan memiliki pasangan yang juga merdeka.

Berbahagialah kalian, pasangan pecinta di kereta :)
regard

-M Haikal Sedayo
http://rescogitan.com

Selasa, 19 April 2011

Sukabumi di ujung malam.

Jalan langit, begitu selalu aku menyebut garis yang telah ditentukan, membawaku kembali ke kota ini. Ini kali ke empat aku mencium udara sukabumi, kali pertama saat berkunjung ke rumah seorang kawan sebelum menjelajah pelabuhan ratu, kali kedua saat survey dampak gempa, kali ke tiga bersama keluarga calon istri, dan kali ini saat adik ku yang asli bengkulu, menuntut ilmu di semarang, menikah dengan jejaka sumedang, dan lantas berdomisili serta mengais rezeki di bogor, secara dramatis harus melahirkan di kota ini, di sukabumi.

Kita tidak bisa memilih lahir dari rahim siapa, dan dalam keluarga beragama apa, sama seperti kita tidak bisa memilih di mana kita akan di lahirkan. Tuhan, dengan berbagai perhitungannya memutuskan bahwa jabang bayi ini harus lahir di sini, jauh dari keluarga ku dari keluarga ayahnya, dari teman-teman kami, dari semua yg menunggu kehadirannya selain ayah-ibu nya

Aku membaca kehendak alam dalam peristiwa, kelak... Tumbuhlah dengan gagah keponakanku sayang, hiduplah dalam kontemplasi mu yang dalam... Semakin tinggi kau akan semakin sendiri, temanmu keyakinan, jalanmu kebenaran. Hiduplah penuh kasih sayang, seperti sepertiga malam yang didatangi pencari maha terkasih. Aku tutup malam,... Aku sambut fajar... Doaku menemani kehadiranmu....

Selamat datang... Panggil saya om icoy saja :)
regard

-M Haikal Sedayo
http://rescogitan.com

Sabtu, 16 April 2011

tembang asmaradana...

sepi,... sekat duniawi yang fana seperti idealisme dan cinta masih bertaruh didepan kita, kita diam di tepian rel kereta, menikmati stasiun yang hingar bingar dengan selimut sepi, seolah tersembunyi dan terpisah dari segala gerak yang ada.

selimut itu aku yang ciptakan, untuk melindungi mu, melindungi diriku sendiri tepatnya dari kehilangan kamu. selimut itu gaib, memisahkan mu pelan-pelan dari berhala-berhala lain selain aku, menyesatkan mu dalam cinta yang buta, sebuta kabut dari sowarga, memisahkan aku dari apa-apa yang dulu kupikir berharga sebelum bertemu kamu.

jika dalam selimut itu kau bisa bahagia, melupakan hingar bingar stasiun ini, tidak perlu kita bersedih melihat mereka yang berangkat naik kereta dengan pakaian mewah dan bau parfumnya yang mahal dari rumah mereka yang megah bagai istana raja.

kelak pada masa nya kita harus keluar dari selimut itu, entah aku, entah kamu yang harus berpamitan dan yang lain harus rela menunggu dalam doa dan puja berharap yang terbaik untuk yang pergi, serupa doa dan puja anjasmara mengiringi kepergian damarwulan, sepahit kata perpisahan dawarwulan untuk kekasih hatinya...

Anjasmara ari mami

mas mirah kulaka warta

dasihmu tan wurung layon

aneng kutha Prabalingga

prang tandhing Wurubhisma

karia mukti wong ayu

pun kakang pamit palastra.


Aku telah coba agar kau temukan diri mu dalam mataku, buat kau temukan jalanmu di langkah ku, tapi tentu kau setara pandawa yang perkasa... jalan menuju hatimu harus kau temukan sendiri, dan aku harus belajar menjadi sekuat anjasmara melepas mu yang "mungkin" tidak akan kembali memeluk malam bersamaku di selimut kusam ini....


Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,

karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah

pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti,

yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta,

nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya

disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok

pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,

ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba,

karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu.

Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.

Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,

kulupakan wajahmu.

(Goenawan Mohamad, 1992: 44)


Aku buka genggaman ku yang memaksa kau berada dalam lingkup gaib selimut ini, kau hanya perlu melangkah, maka akan kau masuki hingar bingar stasiun kereta ini, mungkin kau akan menaiki kereta terakhir malam ini, aku di sini menunggu semoga kau kembali atau setidaknya mengingat di mana kita lewati keramain dalam kesepian dibalik dunia ajaib ini, yang hanya ada aku, yang hanya ada kamu.


itu paggilan naik untuk kereta terakhir,... bergegas lah. aku akan segera menyusul, dan akan kumenangkan hatimu kembali.... sebelum itu, biar ku musnahkan dulu selimut gaib ini.