Halaman

Selasa, 19 November 2013

Padang Bulan - cinta di dalam gelas by andrea hirata

Dua cerita ini di muat bersisi-sisian. Ditulis saling berkebalikan dalam satu buku. Pengemasan yang unik, saya suka.

Kau tidak harus membaca quartet andrea hirata yang legendaris itu untuk menikmati buku ini. 

Mengambil setting kampung halaman nya secara penuh mengingatkan kita pada laskar pelangi.

Meskipun tokoh utama telah dewasa di sini, kecerian anak-anak seperti yang kau jumpai di laskar pelangi tetap kental dengan romansa yang hanya sedikit bertambah.

Dalam kisah yang ini bercerita tentang hal-hal yang saya sukai. Kopi, catur, detektif, cemburu ya hal-hal manis sedemikian yg disusun dengan penyampaian khas melayu andrea. Sederhana, menggelitik.

Selain tekad enong, tidak banyak bumbu pembakar semangat di sini. Pesan-pesan tersembunyi rapi dalam kisah yang mengalir halus. Nyaris tidak terdeteksi, sarkas yang sangat cantik menurut saya.

Kalau saya boleh menilai, dua kisah ini lebih baik dari edensor, namun belum memasuki level laskar pelangi, dan tidak seserius sang pemimpi.

Karakter dibangun dengan sangat kuat. Bahkan tokoh paling sedikit muncul seperti mapanga pun terasa memiliki karakter yang kuat, ini jelas kelebihan andrea sehingga kita boleh mengabaikan gaya bahasa nya yang sebenarnya begitu-begitu saja.

Sebagai penikmat, saya justru sangat ingin tahu apakah kelak andrea bisa hidup tanpa cerita dari belitong ini? Mungkin dia akan tertatih seperti Rowling saat mengakhiri harry potter dan menulis romansa?? Atau seperti ketika pidi berkolaborasi dengan happy salma menghasilkan karya yg buruk? (menurut saya setidaknya) Entahlah! Mari kita tunggu  :)

Tentang buku ini?? Indah, itu saja :D


Senin, 18 November 2013

Jalan baru

Itu nama jalan di kota kecil kami. Tempat dulu saya menghabiskan banyak waktu di sana.

Ada gang sempit di sebelah klinik advent, seberang reruntuhan bioskop yang tinggal puing dan wc umum tempat esek-esek itu. Sebuah rumah bedeng 2 pintu, diisi oleh keluarga yang baik. Saya sering menginap di sana. Menghabiskan masa remaja yang singkat.

Di sana ada ayah, ibu, dian, reko, nenek, adek2 reko yang banyak yang bahkan sekarang saya sudah tidak ingat siapa-siapa lagi namanya.

Di depan gang tersebut, di sisi jalan, di bangku beton, di atas got adalah tempat favorit kami membunuh waktu. Biasanya sambil bernyanyi. Bayu dan reko akan bergantian memetik gitar, sesekali saya, sesekali bang Iwan yang bosan menjaga warung nya, kalau bang iwan sangat jago main gitarnya. Dia khatam rolling stone sampai santana. Yang lain akan bernyanyi, tidak merdu, tak apa, kami semua bahagia.

Sesekali akan ada cecep, dia preman katanya, ikut bernyanyi bersama kami. Sesekali ada saudara-saudara Bayu, sesekali ada putra yang punya angkot jurusan lebong.

Di sini area kami, kami tidak takut apa-apa di sini. Semua orang kami kenal. Jadi tak apa bernyanyi kuat-kuat, sekencang napas kami bisa ditarik. Tidak pernah ada yang marah.

Penampilan tidak pernah jadi masalah. Selama kau pakai baju dan celana cukuplah, pak rt tak akan rewel, pak rw akan tenang-tenang saja. Robek atau kotor sedikit masih tak apa.

Kalau bosan, kami akan berjalan kaki menuju simpang lebong, itu adalah pangkal dari jalan baru. Sekedar berjalan menyapa orang-orang di jalan, kadang kenal, sering juga tidak kenal, tak apa... Mereka tidak pernah marah. Lalu kami kembali lagi, duduk di mulut gang kami yang sempit itu.

Kalau ayah sedang tidak sibuk, kami ikut menginap di kebun kopi ayah. Siangnya bermain-main, malam nya berlatih silat. Kemudian jika ayah dapat pekerjaan kami kembali lagi menghabiskan waktu di sisi jalan itu, di depan gang kami yang sempit.

Ah sekarang itu disebut masa remaja oleh saya. Di bawa kembali ke permukaan ingatan karena chatting Reko barusan tadi. Tidak tahu kenapa, ingin saja saya tulis. Sebelum tidur memimpikan Bumi dan Miu nya di situ.

Rabu, 13 November 2013

Hujan dan syukur

Di dalam lagu si tardjo, hujan disebutnya anugerah. Iya, mengesampingkan banjir atau badai juga saya setuju sekali :D

Dalam perjalanan menuju ganesa dan dalam hujan yang ini saya panjatkan syukur yang dalam.

Syukur atas adanya ibu penjual lotek yang saya beli, syukur atas segelas kopi, syukur atas istri cantik di rumah, syukur atas anak yang tampan. Syukur atas segala yang diberi hingga detik ini.

Hidup tidak pernah membosankan, persimpangannya selalu mengejutkan.

Dalam hujan yang ini saya masih menghisap dalam tembakau rasa mentol, pikiran saya diliputi bahagia.

Saya bersyukur pada tuhan yang memberi ini semua. 

Semoga perang segera usai, luka-luka dihapuskan, dan teriakan revolusi yang dipekik kan tinta darah tidak perlu lagi ada.

Angin bertiup pelan, saya tahu harapan saya mulai melewati batas. Orang yg tidak berbuat apa-apa macam saya mungkin lebih baik diam saja.

Aduh hampura gusti, ini manusia meuni bersyukur sambil meminta lagi dan lagi dan lagi dan lagi.

Hujan adalah aa...aaaanugerah.

Rabu, 06 November 2013

Kenalilah orang-orang di sekitar mu

Hai Bumi, saat ini kau baru pergi sama Miu, ke dokter untuk divaksin. Kau kami vaksin segala rupa agar kuat, persiapan untuk segala perjalanan mu kelak :D

Obrolan piu dengan beberapa kawan tentang pandangan hidup akhir-akhir ini jadi cukup menarik, karena nya piu tuliskan di sini, agar kelak ingat supaya bisa piu sampaikan lagi kepadamu.

Adalah baik, sangat baik malah mengetahui pandangan hidup dan mengenali kisah-kisah orang besar di sekitar mu ataupun pada masa lalu. Tapi tentu tidak kalah penting untuk melakukan pengamatanmu sendiri dan hidup sesuai jalan yang kau pilih.

Musashi sang pendekar pedang pernah menulis sekali bahwa kau tidak akan mengenali dirimu sebelum kau mengenali musuh-musuh mu. Kalau piu sih sangat sepakat dengan ini. Terlalu sombong bila kita merasa cukup dengan kebesaran pemikiran kita sendiri, kelak tak ubah kita menjadi katak dalam tempurung, merasa pusat alam semesta satu-satunya berada dalam diri kita, lalu egosentris akan merajarela. 

Piu cuma mau berpesan, kelak saat kau besar bacalah marx, kenalilah buddha, bacalah weda dan al-quran, tertawalah bersama pagi dan senja di berbagai belahan dunia, lalu berkenalanlah dengan hatta, soekarno, JFK, stalin, ernesto guevara, castro, pelajarilah hidup kanjeng nabi yang mulia. Kunjungilah pantai, laut, gunung, padang pasir ataupun savanah. Singkatnya bukalah cakrawalamu, lalu kau berjalan dan melangkahlah sesuai keyakinan yang kau tumbuhkan sendiri dalam dadamu. 

Ah seperti lagu itu, piu terus berdoa agar kamu berguna bagi sesama, menjadi muara sukacita, makhluk yang menebarkan cinta dalam setiap langkah.

Ketika malam menurunkan jubah nya di hari-hari mu kelak, piu berharap kau menyempatkan waktu sejenak larut dalam perenunganmu sendiri, tapi ketika fajar menyingsing piu berdoa kau bangun lagi dan berbaur dengan masyarakatmu, masyarakat kita. Tidak peduli besar atau kecil, piu selalu dan akan Selalu berharap baktimu bagi masyarakatmu. Bakti pada society yang tidak dibatasi ras, agama, atau batas-batas absurd lain seperti negara.

Nah sekarang kau tumbuhlah dulu dengan gagah, minum yang banyak, piu masih akan terus mendongengkanmu kisah-kisah dari berbagai belahan dunia dan menyenandungkan utara senja dan bumi kelana atau dylan atau joan baez atau MLTR untuk menghantar tidurmu, lain waktu kita akan bersenandung lagu the panas dalam buatan pidi baiq atau naik-naik ke puncak gunung.

Kami mencantumkan kata kelana bukan tanpa sebab di ujung nama-mu. Itu sebentuk harapan, doa yang akan kau bawa selalu diperjalananmu, agar raga dan jiwamu terus bergerak, menyesap pengetahuan dan kebijaksanaan dalam setiap gerak itu, tak perlu tujuan pasti, karena yang pasti harus dituju cuma mati. 

Namun tentu kami hanya mampu menempatkan begitu rupa banyak harapan padamu, tapi hidup itu sepenuhnya milikmu. Percayalah, piu mencoba menerima hal itu sepenuhnya, dari sekarang, bahkan dari sebelum kau hadir di sini bersama kami :D

Duh gusti, jaga selalu ini buah hati kami, Amiin... Amiin... Amiin.