Halaman

Jumat, 22 Juli 2011

Merienplatzt, saat hati mengembara sendiri....

Gelap datang selalu terlambat di sini, dia senang mengulur-ngulur waktu membiarkan matahari bersinar lebih lama menggoda kami yang menunggunya sedari tadi. Pelan-pelan dengan anggun jubahnya menyelimuti stasiun yang mulai sepi dan hinggap di gelas-gelas bir serta pundak-pundak telanjang perempuan penjaja cinta di pelataran city hall yang megah itu.

Lensa kamera masih terbuka, dengan perlahan terus mengabadikan kemerlap cahaya yang muncul menemani hadirnya gelap. Sedang hati sedari tadi berkelana entah kemana. Dia mau menemui orang-orang terkasih, dia mau pergi ke dunia para peri.

Aku mencium wajah kaku mu yang dingin, aku mengusap seluruh tubuhmu sebelum membalutnya dengan kain kaku yang menjadi pakaian terakhirmu, dan aku; dengan tanganku sendiri membaringkan mu di tempat itu.

Dua puluh dua tahun yang lalu kau membawaku dengan sepeda motor melintasi kota kecil kita, membawaku ke pasar sederhana agar bisa kau pilihkan pakaian terbaik menyambut ramadhan. Setelah kita sepakat dengan setelan mana yang akan dibeli, kau akan membayarnya dan menyerahkannya kepadaku untuk di bawa, dan aku ingat betapa erat bungkusan pakaian itu aku dekap seolah takut kehilangan. Kau mengusap kepalaku ketika itu, kelak terbanglah, semoga sayapmu terentang ke angkasa; kau berdoa, dan aku benar2 tidak mengerti.

Aku meninggalkanmu saat zaman seolah membuat jurang di antara kita, dan sebelum sempat aku kembali serta berterimakasih untuk harapanmu dua puluh dua tahun yang lalu, kau sudah harus melanjutkan perjalananmu.

Pada akhirnya kami tidak akan pernah lagi menjumpai wajahmu selain dalam kenangan seperti saat ini, membawa harapan mu dua puluh dua tahun yang lalu, kami berjalan dan aku melintasi samudera itu. Dentang lonceng dari katedral menyadarkanku dan di bawah patung bayi yesus di buaian perawan mariam aku berdoa kepada tangan yang menuliskan nasib dalam lauhul mahfuz, semoga damai yang kau cari kau temukan di sana, dan semoga kelak aku bisa kembali dengan jutaan terimakasih kepadamu.

Ramadhan segera datang lagi pa, meski tidak akan pernah sama dengan yang dulu, saat aku begitu menyukai pakaian baru dan kamu.

Aku benci pemakaman!

Senin, 18 Juli 2011

Come from nothing

Hujan menyapa manusia-manusia yang berjalan cepat pada senja musim panas ini. Aku berdiri menikmati terpaan angin juli bersama kabut tipis yang menggantung di tempat asing bersama orang-orang yang juga asing. Kami berbicara dalam bahasa yang berbeda, dengan kepentingan yang juga berbeda.

Pada suatu titik dalam basa-basi sore yang sibuk itu, dia mengacak rambutnya yang pirang dan menghisap rokok nya dalam-dalam, dan aku menghembuskan napasku kencang-kencang. "I come from London, how about you?"

Aku ingat bertemu dua doktor yang hebat kemaren, aku ingat membaca note seorang kawan dengan kedalaman pemikirannya yang tidak pernah mampu aku lihat sebelumnya, aku ingat pengamen di stasiun munchen freiheit... Dan aku kembali menarik napas setelah membiarkan paru-paruku kosong beberapa saat.

"I came from nothing"

Dia tersenyum, aku tersenyum dan meninggalkannya dengan tatapan yang masih menghujam tajam di punggungku.

"it is also rainy in London"

Aku masih mendengar suaranya di selingi suara hujan dan langkah-langkah kaki...

Dan hujan akan selalu turun, menghapus jejak kemarin.... Menumbuhkan tunas-tunas baru... Dan membunuh bilamana perlu.

Minggu, 03 Juli 2011

Dan manakah yang menjadi tujuanmu??

Ada satu ketika ketika aku ingin menjadi sedemikian sempurna, atau setidaknya, aku tidak ingin ada orang yang memaki karena aku. Jangan salahkan aku, begitu namanya lumrah, diajarkan budaya disesaki dogma.

kemudian aku lalui jalan setapak di pematang gunung, menyusuri lembah-lembah dingin dan menghitung kerlip bintang malam di pesisir-pesisir laut mana saja yang bisa aku jumpai. desau angin dan riak sungai adalah teman, harmoni mereka tak pernah berubah kendati kau marah atau kecewa. Dia yang selalu bernyanyi dengan melodinya sendiri... tak pernah berubah kendati kau diam atau banyak bicara.

Desau angin dan riak sungai adalah guru, yang mengajari aku untuk berpegang teguh pada keyakinanku. Biarkan manusia menggugatmu, dan kebenaran hanyalah tuhan yang tahu.

Berbaik-baiklah dengan hati, bermain dengan pikiran kadangkala menjadi berbahaya saat kita terlalu peduli pada pandangan mereka-mereka, sedang kebaikan hanya tuhan sajalah yang menghitung segala.

Desau angin dan riak sungai juga mengajariku satu hal lagi... yaitu agar aku membagi rahasia ini denganmu... bahwasanya kita tidak akan pernah menjadi sempurna.

Kemarilah,... rapatkan bahumu ke dadaku... peluk aku erat-erat dengan seluruh jiwamu dan cukupkan hatimu dengan cintaku... lalu kita akan bersama-sama menikmati desau angin dan riak sungai ini.

-Singapore river, 04 07 2011