Halaman

Jumat, 18 Maret 2011

Tentang kami, bakti kami yang setitik

dimulai dengan "dia"
Perempuan yang duduk bersamaku menghabiskan malam di pantai pangandaran.

Saat itu, benih cinta mulai tumbuh.
Aku sangat yakin akan mampu menyatakan isi hati, mengajaknya berbagi kisah dan saling mendampingi malam itu juga.

Percakapan yang lahir dari saling diam itu diawali dengan debat singkat tentang arah australia dari tempat kami berada. Memandang samudera terhampar, mencium bau angin dan kami mulai saling me-reka di mana kiranya letak benua kangguru. Dia sebenarnya tidak tahu, aku pun sama... Tapi kami berdebat panjang, mengemukakan bermacam-macam argumen dan saling tertawa, karena kami tahu... Bahwa kami tidak "benar-benar" tahu :) tapi itu tidaklah penting, menghabiskan waktu itu dengan nya adalah kebahagiaan bagiku.

Sampai pada suatu jeda, saat aku begitu yakin akan mampu menyampaikan isi hati... Dia berbicara tentang laut. Dia menatap ombak yang mencium bibir pantai, matanya lurus... Jiwanya lurus, dan dia mulai menjelaskan tentang gelombang pecah... Tentang bentuk pantai yang mempengaruhi arus... Tentang jiwa dan napas laut yang dipelajarinya.

Aku terdiam, tiba-tiba semua benteng keberanian yang kubangun perlahan dan ku kokohkan dengan niat yang sngguh-sungguh hancur sudah... Dia sempurna di mataku saat itu, di matanya kilat kecerdasan terpancar, dalam suaranya... Aku luruh, aku sadar, kelak... Nasib akan membawanya terbang, mungkin ke tempat yang terlalu tinggi untuk aku capai.

Namun jalan hidup mengizin kan kami kemudian bersama, kadang aku dengan ke egoisan ku mencoba menahan kepak sayap nya agar tidak terlalu tinggi hingga bisa terus kugapai, kadang aku terlalu keras memaksanya menjadi "aku"!

Garis langit memisahkan kami ribuan kilometer, untuk kemudian berbaik hati kembali menyatukan kami. Dia datang dari tempat yang tinggi, kembali... Mengejawantahkan apa yang dulu pernah aku pikirkan tentang dia.

Tiba-tiba aku tidak rela melihat dia hampir terpenjara di belakang meja kerja, aku tidak rela dia hanya melakukan hal-hal biasa... Aku pernah menyaksikan mata itu berbicara di bawah langit pangandaran, aku pernah mendengar napas dan jiwa laut dari suaranya.
------------------------------------------------------
Ini baktimu sayang, kau akan menghadapi rintangan, kau akan dituduh melakukan hal tercela yang aku tahu pasti tidak kau lakukan. Dan aku tahu, setitik bakti ku adalah memastikan kau, mampu terbang, melesat melintasinya untuk kemudian kembali bersamaku menyelam di dalamnya samudera.

Dan aku.... Akan terus mencintaimu meski tanpa itu semua :)
regard

-M Haikal Sedayo
http://rescogitan.com

Selasa, 15 Maret 2011

....

Bangku yang sama sepeti ketika dulu aku menunggu pengumuman kelulusanku.

Kali ini aku kembali duduk di sini, dalam diam panjang... Sesekali berdiri, melihat melintasi kaca pintu ruangan itu, kau berdiri di situ, memperjuangkan apa yang telah kau kerjakan lebih dari setahun ini. Kau berdiri anggun disitu dengan sejuta ekspresi, dari senyum, bingung, bahagia, dan banyak lagi :) memperjuangkan gelar yang akan diputuskan setelah mereka2 yang jauh lebih pintar dari kau dan aku itu setuju, dan mau menganggap dirimu layak menyandangnya.

Meski kita berdua tahu, gelar dan penghargaan serta baju kebesaran, dan upacara2 itu bukanlah apa2... Apa yang telah kau lewati selama melakukan prosesnya adalah apa yang patut kita hargai lebih jauh

Aku menyalakan Ipod, gitar joe satriani memenuhi gendang telinga. Dunia kita seakan sedang terpisah sangat jauh... Di balik pintu itu ada dunia yang lain, dunia yang semoga menjadikan kamu lebih baik, menjadikan kamu lebih bijak,
Mungkin tidak akan membantu apa-apa, aku hanya mau hadir... Menemanimu, melawati satu ujian terakhir sebelum memasuki fase berikutnya dari ceritamu, cerita kita... yang aku yakin masih sangat panjang sayang... :)

A New Master of Science born today
regard

-M Haikal Sedayo
http://rescogitan.com

Rabu, 02 Maret 2011

ditantang seratus dewa

membaca syair Rendra... hiburan saat picking seismik jadi tidak lagi menyenangkan :

..........

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua, 1972