Halaman

Kamis, 05 November 2015

Zadig by: Voltaire

Voltaire adalah nama besar dalam dunia kesusastraan. Pejuang yang penanya tajam. Jadi, siapalah saya kalau berani tidak menyukai karyanya yang ini. Versi bahasa indonesia ini diterjemahkan dengan sangat baik oleh Widya Mahardika Putra, saya tidak menemukan satu kalimatpun yang janggal dalam bahasa Indonesia, kecuali typo yang amat sangat minor, setidaknya begitu penilaian pribadi saya yang tentu tidak bisa kau bilang objektif, karena sahabat baik saya adalah salah satu punggawa penerbit oak yang menerbitkan terjemahan buku ini.

Tapi kembali ke zadig, karya ini sesungguhnya indah, indah sekali malah. Ceritanya disusun dengan plot waktu yang sederhana. Dia nya sendiri dipenuhi ajaran moralitas yang tinggi. Ada kebijaksanaan zarathusra di sana, ada gubahan kisah dari kitab-kitab suci di dalam situ. Saya ingat saya juga tidak suka karya Gunawan Muhammad yang bertajuk "tuhan dan hal-hal yang tidak pernah selesai", mungkin karena musabab yang sama, tidak ada ide penulis yang bisa saya ekstrak dari sana! Naskah ini dijejali begitu banyak konsep agung dari nama-nama dan sumber-sumber besar lain, tidak ada interpretasi orisinil yang saya paham, saya seperti membaca naskah ilmiah dengan sumber referensi yang begitu banyak hingga mengabur ide pokok dan karakter dari tulisan itu sendiri.

Tidak kawan, bukan bearti saya mengatakan bahwa Zadig adalah karya yang buruk, maka siapa saya berani berkata demikian. Zadig adalah karya yang indah. Kau bisa terpukau dengan kecerdasan dan kebaikan Zadig, kalau tidak kau bisa saja terpikat pada romansanya dengan Astarte, atau kau mungkin bisa juga jatuh dipeluk duka nestapa yang selalu menghampiri saat zadig hampir-hampir yakin bahagia abadi sudah dia temukan.

Buku ini menyindir perdebatan teologi dan penyembahan benda-benda serta hal-hal metafisika dengan cukup keras. Saya mengira keberanian dan jiwa pemberontak voltaire cukup tercermin dari sana. Bagaimana zadig menentang budaya bakar diri bagi para janda, bagaimana dia membereskan urusan-urusan kerajaan, dikisahkan dengan indah dan menarik. Zadig jauh dari membosankan bahkan sejak paragraf pertamanya. Tidak heran buku ini langsung mampu saya tandaskan di warung indomie dalam waktu satu jam saja, serius... Buku ini sangat enak dibaca.

Tapi kau akan temui banyak sekali kisah-kisah yang dikutip dari sumber lain, bisa kau temui potongan yang sangat mirip dengan pelatihan Musa oleh khidir, atau hal-hal yang disadur dari kisah-kisah kebijakan orang-orang mulia dalam kitab suci. Bukan bearti itu hal yang tidak bagus, hanya terasa terlalu banyak bagi saya.

Terlepas dari ketidak-sukaan saya yang sangatlah personal mengenai penyaduran kisah-kisah besar itu, zadig adalah karya sastra yang luar biasa, indah, mendidik, menggugah. Selamat pada penerbit Oak khususnya rumah kaca yg jg ada di situ, dan terimakasih sudah mempermudah kami menikmati karya klasik yang agung ini.

Kalian yang berminat bolehlah kontak saya kalau mau, sedikit diskon adalah kabarnya mah atau silahkan pesan di toko buku digital rumah kaca yang beralamatkan akun instagram @bokabuo itu.

---merasa sangat produktif sepanjang hari ini membaca, menulis, memodelkan, menterjemahkan... Tinggal tidur yang belum, ah, saya sedang kangen si #bumibiru :'(

Selasa, 03 November 2015

Maryamah

Nama aslinya adalah Maria, serupa nama bunda al-masih sang notredame dalam lafazh yg lebih dekat ke bahasa Yunani. Saat dewasa dan benar-benar jatuh cinta pada islam namanya diganti menjadi Maryamah, kata yang sama tapi lebih dekat ke lafazh aram dan arab. Alasanya sederhana, agar lebih mirip dengan sebutan di dalam alquran.
Dia sempat menjalani hari-hari sepi, ditinggal pergi oleh kekasihnya. Dia diam dalam setianya, tidak menikah lagi, membesarkan ketiga anak mereka seorang diri. Ayahku salah satunya.
Aku mengingat perawakannya yang kecil, kebiasaannya adalah sholat berjamaah di langgar dan menghadiri majelis taklim. Ini yang menyebabkan dia enggan tinggal bersama kami, karena selalu dia akan rindu langgar kecilnya dikampung, sementara musholla kota kecil kami adalah terlalu mewah baginya.
Maryamah ini kupanggil abui, panggilan kesayangan yang menjadi salah satu kata pertama yang kuucapkan ketika dulu belajar bicara. Niat aslinya adalah memanggil "sebei" tapi kemampuan lidahku ketika itu belum mampu melapalkan kata dalam bahasa rejang yang bearti nenek, sehingga terpelesetlah kata itu menjadi abui, panggilan yang dengan keras kepala aku pertahankan bahkan setelah aku lebih dari mampu untuk menuturkan kata "sebei" dengan baik.
Ketika kecil, aku sangat senang berada di dekat beliau. Dia suka bernyanyi, dan aku selalu minta diajari bernyanyi, dia mengajari aku dan adikku lagu kimigayo, iya lagu jepang, lagu ketika dulu dia bersekolah di masa penjajahan jepang. Tidak ketinggalan lagu-lagu lain. Tapi yg paling ia sukai dari semua lagu itu adalah sebuah lagu yang berkisah tentang bila izrail sang pencabutnya datang dan memanggil. Seusai menyanyikan lagu itu, dia aan berpesan agar baik-baiklah kami menjalani hidup sebelum nanti sang malaikat datang membawa maut.
Ah, abui.... tidak akan mampu aku menuliskan semua kenangan tentangnya. Saat terakhir berjumpa beliau sudah sangat-sangat pikun, hampir tidak mengenali siapapun. Ketika kusebut namaku, dia segera ingat, dia selalu ingat nama cucu lelaki kecilnya ini, lalu dia juga langsung ingat anak sulungnya yang sudah mendahuluinya menuju kemanapun izrail membawa, berlinang air matanya saat itu, dipeluknya aku, dicium dengan rindu yang sangat, tangan nya meraba wajahku, mata rabunnya menghujam mataku, aku tahu dia berusaha keras mengingat wajah anak lelakinya yang itu.
Kemudian dia bertanya kapan aku akan menikah, kujawab sudah, kita harus mahfum dia tidak lagi mengingatnya, dia bertanya sudahkah aku dianugerahi keturunan, air matanya tumpah lagi ketika jariku menunjuk Bumi kecil yang sedang menangis dipelukan ibunya. Aku tahu dia sedih melewatkan semua itu, aku tahu dia sedih karena dia tahu saat nanti matahari terbenam dia sudah akan kembali lupa, lupa pada kami cucu-cucu nya, menantu-menantunya, cicit-cicitnya, dan sudah sholat atau belum dianya. Dia hanya mampu mengingat anak-anaknnya saja, dan sialnya dia akan seolah-olah baru mengetahui bahwa anak sulung telah berpulang lebih dulu, lalu sedih menyelimutinya lagi.
Beberapa hari yang lalu kabar itu datang, abui tidak perlu bersedih lagi, izrail sudah datang, dia pergi menyusul buah hatinya. Selamat jalan abui, kelak bila tiba waktuku, jemputlah aku juga di pintu.


Salam sayang dari
Cucu kecilmu selalu