Halaman

Selasa, 03 November 2015

Maryamah

Nama aslinya adalah Maria, serupa nama bunda al-masih sang notredame dalam lafazh yg lebih dekat ke bahasa Yunani. Saat dewasa dan benar-benar jatuh cinta pada islam namanya diganti menjadi Maryamah, kata yang sama tapi lebih dekat ke lafazh aram dan arab. Alasanya sederhana, agar lebih mirip dengan sebutan di dalam alquran.
Dia sempat menjalani hari-hari sepi, ditinggal pergi oleh kekasihnya. Dia diam dalam setianya, tidak menikah lagi, membesarkan ketiga anak mereka seorang diri. Ayahku salah satunya.
Aku mengingat perawakannya yang kecil, kebiasaannya adalah sholat berjamaah di langgar dan menghadiri majelis taklim. Ini yang menyebabkan dia enggan tinggal bersama kami, karena selalu dia akan rindu langgar kecilnya dikampung, sementara musholla kota kecil kami adalah terlalu mewah baginya.
Maryamah ini kupanggil abui, panggilan kesayangan yang menjadi salah satu kata pertama yang kuucapkan ketika dulu belajar bicara. Niat aslinya adalah memanggil "sebei" tapi kemampuan lidahku ketika itu belum mampu melapalkan kata dalam bahasa rejang yang bearti nenek, sehingga terpelesetlah kata itu menjadi abui, panggilan yang dengan keras kepala aku pertahankan bahkan setelah aku lebih dari mampu untuk menuturkan kata "sebei" dengan baik.
Ketika kecil, aku sangat senang berada di dekat beliau. Dia suka bernyanyi, dan aku selalu minta diajari bernyanyi, dia mengajari aku dan adikku lagu kimigayo, iya lagu jepang, lagu ketika dulu dia bersekolah di masa penjajahan jepang. Tidak ketinggalan lagu-lagu lain. Tapi yg paling ia sukai dari semua lagu itu adalah sebuah lagu yang berkisah tentang bila izrail sang pencabutnya datang dan memanggil. Seusai menyanyikan lagu itu, dia aan berpesan agar baik-baiklah kami menjalani hidup sebelum nanti sang malaikat datang membawa maut.
Ah, abui.... tidak akan mampu aku menuliskan semua kenangan tentangnya. Saat terakhir berjumpa beliau sudah sangat-sangat pikun, hampir tidak mengenali siapapun. Ketika kusebut namaku, dia segera ingat, dia selalu ingat nama cucu lelaki kecilnya ini, lalu dia juga langsung ingat anak sulungnya yang sudah mendahuluinya menuju kemanapun izrail membawa, berlinang air matanya saat itu, dipeluknya aku, dicium dengan rindu yang sangat, tangan nya meraba wajahku, mata rabunnya menghujam mataku, aku tahu dia berusaha keras mengingat wajah anak lelakinya yang itu.
Kemudian dia bertanya kapan aku akan menikah, kujawab sudah, kita harus mahfum dia tidak lagi mengingatnya, dia bertanya sudahkah aku dianugerahi keturunan, air matanya tumpah lagi ketika jariku menunjuk Bumi kecil yang sedang menangis dipelukan ibunya. Aku tahu dia sedih melewatkan semua itu, aku tahu dia sedih karena dia tahu saat nanti matahari terbenam dia sudah akan kembali lupa, lupa pada kami cucu-cucu nya, menantu-menantunya, cicit-cicitnya, dan sudah sholat atau belum dianya. Dia hanya mampu mengingat anak-anaknnya saja, dan sialnya dia akan seolah-olah baru mengetahui bahwa anak sulung telah berpulang lebih dulu, lalu sedih menyelimutinya lagi.
Beberapa hari yang lalu kabar itu datang, abui tidak perlu bersedih lagi, izrail sudah datang, dia pergi menyusul buah hatinya. Selamat jalan abui, kelak bila tiba waktuku, jemputlah aku juga di pintu.


Salam sayang dari
Cucu kecilmu selalu

Tidak ada komentar: