Halaman

Sabtu, 16 April 2011

tembang asmaradana...

sepi,... sekat duniawi yang fana seperti idealisme dan cinta masih bertaruh didepan kita, kita diam di tepian rel kereta, menikmati stasiun yang hingar bingar dengan selimut sepi, seolah tersembunyi dan terpisah dari segala gerak yang ada.

selimut itu aku yang ciptakan, untuk melindungi mu, melindungi diriku sendiri tepatnya dari kehilangan kamu. selimut itu gaib, memisahkan mu pelan-pelan dari berhala-berhala lain selain aku, menyesatkan mu dalam cinta yang buta, sebuta kabut dari sowarga, memisahkan aku dari apa-apa yang dulu kupikir berharga sebelum bertemu kamu.

jika dalam selimut itu kau bisa bahagia, melupakan hingar bingar stasiun ini, tidak perlu kita bersedih melihat mereka yang berangkat naik kereta dengan pakaian mewah dan bau parfumnya yang mahal dari rumah mereka yang megah bagai istana raja.

kelak pada masa nya kita harus keluar dari selimut itu, entah aku, entah kamu yang harus berpamitan dan yang lain harus rela menunggu dalam doa dan puja berharap yang terbaik untuk yang pergi, serupa doa dan puja anjasmara mengiringi kepergian damarwulan, sepahit kata perpisahan dawarwulan untuk kekasih hatinya...

Anjasmara ari mami

mas mirah kulaka warta

dasihmu tan wurung layon

aneng kutha Prabalingga

prang tandhing Wurubhisma

karia mukti wong ayu

pun kakang pamit palastra.


Aku telah coba agar kau temukan diri mu dalam mataku, buat kau temukan jalanmu di langkah ku, tapi tentu kau setara pandawa yang perkasa... jalan menuju hatimu harus kau temukan sendiri, dan aku harus belajar menjadi sekuat anjasmara melepas mu yang "mungkin" tidak akan kembali memeluk malam bersamaku di selimut kusam ini....


Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,

karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah

pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti,

yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta,

nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya

disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok

pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,

ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba,

karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu.

Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.

Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,

kulupakan wajahmu.

(Goenawan Mohamad, 1992: 44)


Aku buka genggaman ku yang memaksa kau berada dalam lingkup gaib selimut ini, kau hanya perlu melangkah, maka akan kau masuki hingar bingar stasiun kereta ini, mungkin kau akan menaiki kereta terakhir malam ini, aku di sini menunggu semoga kau kembali atau setidaknya mengingat di mana kita lewati keramain dalam kesepian dibalik dunia ajaib ini, yang hanya ada aku, yang hanya ada kamu.


itu paggilan naik untuk kereta terakhir,... bergegas lah. aku akan segera menyusul, dan akan kumenangkan hatimu kembali.... sebelum itu, biar ku musnahkan dulu selimut gaib ini.


Tidak ada komentar: