Halaman

Selasa, 21 Januari 2014

Antara sakit-nya Bumi dan perasaan saya

Sejak kemaren Bumi kecil kami sedikit rewel, badannya panas, demam ringan saja sebenarnya. Ini pengalaman pertama saya sebagai ayah menghadapi anak yang sakit.

Pagi tadi kami ke dokter, Bumi diberi obat, saya cek satu-satu, tidak ada obat keras. Setelah minum obat, panas nya turun, dan dia sudah bisa tertawa lagi, sekarang sudah tidur di bawah pengaruh obatnya. Saya lega :)

Kejadian hari ini membawa ingatan saya pada peristiwa belasan tahun silam. Saat itu saya masih smp, dan tangan saya harus dioperasi karena terkena senjata tajam. Malam sebelum operasi, papa di samping saya, saya terbangun lewat tengah malam, dan saya lihat matanya menerawang, tangannya menggenggam tangan kanan saya yang tidak terluka, dan ada air mata dari sudut matanya.

Setelah kuliah, saya banyak
Membaca hubungan antara anak dan orang tua. Bagaimana kasih sayang orang tua pada anak nya. Tapi malam ini saya sadar, tentu kau terlalu sombong untuk merasa mengerti tanpa merasakan. Perasaan, adalah sesuatu yang tidak akan kau temukan di buku-buku.

Ini kali pertama aku menyaksikan anak-ku sendiri yang sakit. Meskipun aku tahu itu sakit biasa, tidak lebih karena cuaca, tapi perasaan cemas yang datang, sedih melihat cerianya yang hilang, ah... Ada sejuta lagi dan kata-kata tidak cukup mewakilinya. Aku mahfum, kelak hari-hari kami akan dipenuhi perasaan seperti ini. Perasaan yang sudah ku baca dari gibran, dari dylan, dari Ibrahim.

Papa ketika itu tentu dengan perasaan sejenis ini di hatinya. Aku mulai mengerti sedikit tentang itu. Lalu dia harus melepas lelaki kecilnya bertualang ke bandung menuntut ilmu, kelak mungkin aku akan menghadapi kejadian serupa dan aku tidak yakin akan bisa sebijak dia saat melepas ku ketika itu.

Mengenali perasaan ini membuat ku merasa menjadi pendosa. Hubungan kami turun naik seperti gelombang, dan aku bersyukur di penghujung hidupnya kami sedang dalam frekuensi yang sama. Tapi mengingat kami pernah bertengkar, betapa bodoh dan keras kepalanya saya ketika itu, ah... Saya mulai membayangkan Bumi kelak bertingkah selaku saya ketika itu, dan hati saya sakit sekedar membayangkan nya saja. Bagaimana saya bisa mengerti sakitnya perasaan papa ketika saya pergi dari rumah, ketika saya membantah dengan sombong yang jumawa. Pasti sakitnya ribuan kali dari apa yang bisa saya bayangkan. saya kemudian sadar bahwasanya saya yang dulu sesungguhnya menyakiti diri saya sendiri!

Tapi  begitulah yang sudah digariskan, tidak ada yang perlu dan layak untuk disesali.

Saya mengangkat telpon, menelpon mama di seberang sana. Tuhan masih meninggalkan kekasih papa sebagai tempat berpulang bakti kami yang tertunda kepadanya.

Tidak ada komentar: