Halaman

Sabtu, 27 Juni 2015

Tentang cubicle

Pada dasarnya, saya orang yang tidak suka dibelenggu rutinitas. Saya menyukai malam, sementara kebanyakan rutinitas itu diwajibkan terjadi siang hari, saya suka di kuar ruangan sementara "kewajiban" itu banyak yang harus dilakukan di dalam ruangan, saya menyukai peroindahan sementara sebagian besar dari "kaharusan" itu memaksa kita menetap. Iya, Ini tentang pekerjaan, sebagian kawan saya menyebut cubicle sebagai kotak nafkah, mereka tidak menyukainya tapi harus ke sana demi gaji di akhir bulan. Sebagian merasa tidak bergantung ke situ, tapi kenyataannya, dia tidak akan berani pergi melangkah begitu saja, keberaniannya baru sebatas kata-kata :)

Entah sudah berapa kali saya bertaruh dengan kotak nafkah saya, yang alasan dasarnya sebenarnya hanya menguji seberapa layak saya tetap di sana. Saat saya mencapai titik jenuh, saya menghadap pimpinan tertinggi di perusahaan saya  dan meminta kenaikan gaji dengan surat resign yang sudah diketik rapih, saya pikir dia tidak akan setuju dan lalu mempersilahkan saya pergi, ternyata tidak, dia terlalu baik. Ketika saya sampai di tahap selanjutnya kejenuhan saya dan saya ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama istri membangun keluarga baru kami di awal-awal tahun dengan lebih dekat, saya kembali menghadap, sekali lagi berbekal surat resign yg sudah diketik rapih namun kali ini bersama proposal untuk kepentingan perusahaan dan rencana cadangan untuk berjualan tempe mendoan kalau-kalau saya akhirnya memang "berhasil" keluar dari cubicle saya, tidak lebih karena keberanian untuk hidup susah mulai tergerus oleh tanggung jawab yang bertambah, kali ini saya harus mempertimbangkan keberadaan istri saya. Lagi-lagi, dia terlalu baik, alih-alih mengizinkan saya pergi, dia "membiarkan" saya melakukan yang saya suka.... Kembali ke pertapaan di kampus ganesa dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan istri saya.

Jumat yang lalu saya menerima telepon dari kantor, pimpinan telah berganti, bos yang baru meminta saya bertemu. Dahulu saya tidak akan cemas atau berpikir sedikitpun. Sekarang, dengan istri dan seorang putra disinilah saya memikirkannya. Saya menemui diri saya bertanya-tanya, apa yang akan dia tanyakan. Saya menemui bahwa kali ini saya tidak mengetik surat resign yang rapih sebagai persiapan seperti dulu. Ketika atasan langsung saya dahulu berseteru dengan saya soal sebuah aplikasi, atau ketika saya sedemikian bosan, atau ketika mereka meminta saya buru-buru menyelesaikan studi di saat saya masih sangat menikmatinya, saya selalu siap untuk pergi, tidak sekedar berbicara dimana sebagian besar mereka mampu, saya selalu membekali diri dengan surat resign yang diketik rapih dan hati yang siap menyerahkannya kapan saja jika dalam pembicaraan itu ada hal yang tidak saya suka. Kali ini tidak...

Semakin tua, ternyata rantai ini menjadi semakin berbahaya, dan saya menyadari... Untuk mencapai derajat hidup yang saya inginkan... Saya harus segera membebaskan diri dari cubicle ini... Dan saya yang sekarang tidak percaya dengan adanya kebetulan baru saja menyelesaikan "escape from cubicle nation" pada jumat yang lalu. Kebetulan? Oh... There is no such thing like that :D

Saya masih punya hutang yang harus diselesaikan disana, tidak bukan tentang kontrakmdan lainnya, ini hutang moral dan janji yang saya ucapkan pada orang yang dulu "terlalu" baik itu, orang yang punggungnya hingga sekarang masih saya ikuti, orang yang mendewasakan saya dalam sekian banyak kesempatan.

Bumi Biru masih belum melangkahkan kakinya ke gunung pertama yang akan dia daki, jadi saya masih punya beberapa tahun yang singkat untuk menyelesaikan ini sebelum mundur kepertapaan saya yang baru.

Mari kita jumpai pemimpin yang baru, semoga punggungnya dan dadanya cukup luas untuk menampung segala keanehan kami :)

Tidak ada komentar: