Halaman

Sabtu, 08 Juni 2013

VIP VVIP

Hari ini saya menghadiri sebuah undangan pernikahan. Saya tidak menyangka pesta ini akan sedemikian mewah. Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan di sini. Kali ini saya ingin bercerita tentang penghormatan manusia terhadap manusia.

Saya dan istri datang cukup awal, dimana para undangan masih sedikit. Tapi sudah banyak panitia dan protokoler yang hilir mudik. Ah, rupanya yang punya hajat orang penting. Puluhan rangkaian bunga dan nama-nama orang serta perusahaan di atasnya cukup untuk saya menerka sepenting apa tuan rumah acara ini.

Lalu kami punya banyak waktu mengamati bagaimana persiapan panitia. Ada briefing singkat sebelum resepsi di mulai, dan semua arahan diberikan lewat mikrofon sehingga saya bisa mendengar intruksi dari ketua panitia. Mereka berbicara tentang persiapan menyambut tamu VIP dan VVIP yaitu para pejabat; pak menteri, dirjen, para direktur dan lain sebagainya, tamu jenis ini berbeda, mereka tidak boleh mengantri harus di by pass katanya. Saya bukan termasuk golongan istimewa tersebut. Kendati ini bukan pertama kali saya menghadiri acara di mana ada kasta orang penting dan saya berada pada kasta biasa, namun biasanya masih dalam taraf yang bisa saya terima, seperti pada saat wisuda misalnya, para guru besar adalah VIP dalam seremoni itu. Tapi biasanya derajat yang membedakan adalah keluasan pengetahuan, sehingga tidaklah pernah terlintas pada diri saya bahwa saya pantas sejajar dengan mereka di podium kehormatan. Kali ini berbeda, kasta itu digolongkan pada pangkat, kekayaan, kepopuleran, atau singkatnya status sosial yang jauh dari kehormatan akademis yang berada dalam lingkup penerimaan dan pengalaman saya.

Seketika rasa kesal itu datang, pertama tentu dari rasa iri. Benci itu menyeruak menjadi semacam resolusi. Kelak... Saya mau posisi itu, saya akan hadir menjadi VVIP di setiap acara di mana saya diundang. Saya benci berada di kasta bawah... Sangat benci.

Saya sudah hampir kehilangan kesabaran, tapi dengan menguat-nguatkan hati saya tetap di sana menghormati istri saya dan sahabat baiknya yang hari itu menikah. Rasa benci itu berubah menjadi gerutuan, tiba-tiba dunia menjadi suram di mata saya.

Akhirnya saya pulang, setelah menemani sang istri menuju tidurnya, saya punya kesempatan untuk turun, bertafakur sedikit lebih jauh di ujung malam hingga akhirnya saya menuliskan post ini.

Akhirnya saya memahami, yang pantas dibenci bukanlah keberadaan saya yang malam ini tidak di kasta terhormat, penggolongan seperti itu juga sudah merupakan hal yang patut untuk dibenci. Saya menetapkan hati.... Saya bahkan sudah tidak ingin berada di kasta tertinggi dan ditinggi-tinggikan lagi, saya tidak ingin menjadi seperti itu.

Bukankah semua manusia sama derajatnya di mata tuhan? Bukankah seharusnya derajat taqwa yang membedakan tingkatan manusia di depan tuhannya? Lalu kenapa saya tiba-tiba gila penghormatan? Ah ini salah, saya tidak mau menjadi seperti itu.

Bila kelak saya ditinggikan, semoga nurani mengajarkan saya untuk merendah, bila kelak saya direndahkan, semoga hati menjaga jiwa tetap tinggi mengangkasa dengan kaki yang membumi.

Bapak penjual mie instant di belakang gedung mewah tempat resepsi itu mungkin sudah jauh melampaui saya dalam memaknai hal sedemikian. Dia memperlakukan saya yang punya uang ratusan ribu di dompet sama baiknya dengan bocah kumal dengan uang pas-pas-an untuk membeli satu bungkus mie instant sore tadi.

Ingatkanlah... Agar saya berhenti meninggikan segolongan manusia atas manusia lain, terutama hanya berdasarkan status sosialnya.

Lalu saya ingat pernikahan saya, di mana semua tamu sama... Tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya... Dan saya bahagia. Lalu saya ingat pernikahan seorang sahabat... Di mana anak-anak lusuh dari jalanan itu yang menjadi tamu paling istimewanya... Saya menjadi lebih bahagia... Lalu saya mengerti mengapa tuhan tidak membiarkan saya lahir dari keluarga yang terhormat. Pasti agar saya tidak sombong... dan mempelajari apa yang saya pelajari hari ini.

Tidak ada komentar: