Halaman

Selasa, 18 Februari 2014

Perjalanan singkat ke Serang

Seminggu lalu jalan langit mengharuskan saya ke Banten, mengunjungi salah satu pantai di Utara Serang. Kami memulai perjalanan di pagi yang masih buta, saat bahkan harimau di gunung belum bangun kalau kata sahabat baik saya. Hari itu saya bersama 2 orang mahasiswa lain dan seorang sopir monil sewaan yang ramah menjadi rekan seperjalanan. Kami bertiga berangkat menunaikan tugas dari guru-guru kami, sementara kang daniel si supir pergi dengan tujuan tidak kalah mulia, mencari rezeki halal untuk anak istri, jadilah tim ini 4 orang anak muda yang kesemuanya punya tujuan di satu arah, maka berangkatlah kami ke situ.

Tugas kami sederhana, isu surutnya laut secara tiba-tiba di pantai karangantu sejauh 1 km menarik minat masyarakat luas sehingga orang-orang besar juga menginginkan jawaban, dan kaum akademisi dituntut menyediakan jawaban tersebut, ditambahi dengan keinginan primodial pemenuhan keingingahuan dari para guru-guru kami sendiri, ditugaskanlah pemimpin perjalanan kami ini untuk membawa tim menyelidiki informasi ini di lapangan. Jadilah tim kecil beranggotakan saya, habsi, dan pak bos bisma untuk menjalankan misi cek dan ricek!

Mas Bisma itu sejatinya birokrat, karena itu dia sangat rapi mengorganisir kami. Habsi bertugas sebagai bendahara, mas daniel tentu. Ertugas menyetir mobil yang kami gunakan, sementara saya seperti biasa, memutuskan untuk mengambil tugas merenung dan mengamati hehehehe

Mobil kami membelah gelap, saat pagi sudah agak tinggi kami memasuki Serang, melintasi alun-alun nya yang sedang dipenuhi tenda dan berhenti sejenak untuk sarapan di sebuah warteg yang kata mas daniel yang punyanya lebih cocok jadi artis dari lada jaga warteg. Kami makan, menyesap rokok dan kembali melanjutkan perjalanan. Melewati vihara metta yang merah, setengah jam kemudian kami tiba di pantai karangantu.

Pantai ini cukup sempit, teluk yang di sisi-sisinya dibangun kanal serta terdapat pelabuhan penangkapan ikan yang bersebelahan dengan muara sungai Cibanten. Saya banyak berdiam semenjak tiba di sana, memandangi karangantu yang pada akhir abad ke-16 merupakan pelabuhan internasional utama di nusantara bagian barat, terutama karena malaka jatuh ke tangan portugis. Saya berdiri di bibir pantai membayanykan bagaimana ke adaannya dulu, sulit, saya menyerah dan segera kembali fokus ke tujuan kami. Mengambil sampel, melakukan beberapa pengamatan sederhana, dan wawancara.

Saat surut memang terlihat sekali endapan lumpur di pantai, apakah ini dibawa oleh aliran cibanten atau justru berasa dari laut? Saya tidak tahu :) tapi dari wawancara, ternyata tidak ada fenomena surut laut hingga 1 km secara tiba-tiba. Saksi mata mengatakan surut laut paling hanya mencapai 300 meter hingga patok bendera tempat para nelayan biasa memasang jaring, kami ukur, ah tidak lebih dari 100 meter saja. Menghubungi kantor dinas perhubungan, polisi, dan nelayan setempat hasilnya sama. Fenomena surut 1 km secara tiba-tiba itu tidak pernah terjadi. pantai karangantu seperti umumnya pesisir utara jawa justru mengalami abrasi dari tahun ke tahun.

Saya agak kecewa, wartawan yang menurun kan berita yang tidak benar seperti ini sungguh tidak bertanggung-jawab! Saya ingat seorang teman menanyakan fenomena ini kepada saya, teman-temannya jadi gelisah karena berita ini, terutama setelah dibumbui dengan kabar bahwa ini merupakan pertanda akan tsunami, yang ternyata hanya isapan jempol saja. Mungkin sang wartawan tidak pernah berpikir tentang dampak dari apa yang ditulisnya, dia hanya ingin tulisannya turun dan dibayar. Saya mencoba berpikir positif, mungkin sang wartawan memang cuma punya otak seperempat saja, jadi kita harus maklum.

Hari beranjak sore, kami segera bergerak menuju pulang yang tenang melupakan si pembuat onat yang otaknya seperempat :)

Tidak ada komentar: