Halaman

Jumat, 19 April 2013

Remember You



Matahari turun di belakang siluet bangunan-bangunan tua, cahayanya terbias partikel di lapisan atas atmosfer menjadi dominan pada warna emas dan merah, sementara langit masih biru meneduhkan hati. Dalam kesendirian di lalu-lalang jalan yang ramai, aku menatap kosong pada awan-awan itu, mengenangmu dalam senyapku.

Kesendirian yang sama seperti malam ini, tanpa senja melankolis ke-emasan, hanya sayup-sayup televisi yang tak mendapat perhatian, sekali lagi aku mengenangmu dalam senyapku. Sudah berjam-jam yang lalu aku mencoba memejamkan mata, jalan menuju mimpi tidak juga terbentang, kau bermain-main di pikiranku, menyentil memori-memori sentimentil dan kau tahu persis di mana letaknya.

Sudah 6 tahun kau di sana, meninggalkan perempuanmu dalam tangisnya yang diam dan panjang, meninggalkan aku dengan air mata yang linang, meninggalkan ke-4 anak gadismu dalam isak yang dalam.

Kenapa tidak Dia yang tahtanya melampaui kebesaran akal manusia mengizinkan mu sekedar hadir saat kami wisuda? moment yang paling ingin kau saksikan ketika waktu mu tiba. Mengapa kau tidak tinggal sedikit lebih lama untuk menyaksikan anak-anak mu menikah? Kenapa kau tidak menunggu sedikit lagi hingga cucu laki-laki mu itu lahir? ah... harusnya kau lihat sekarang dia sudah berlari-lari lincah dan menceracau sepanjang waktu, dia baru berulang tahun kemarin, atau tidak kah kau ingin agar sempat untuk berkenalan dengan keluarga baru ku? Mertua laki-laki ku yang tangguh dan suka sekali pekerjaan pertukangan, seorang insinyur sipil yang pasti kau akan sangat suka, kalian banyak sekali kesamaan, kecuali dia lebih jago memancing dan kau lebih jago menendang dinding sampai runtuh. Tidak maukah kau menggendong seorang lagi laki-laki kecil anggota baru keluarga kita yang akan segera hadir? jari-jari kakinya sudah sempurna, kau pasti akan senang dengan nama yang kami siapkan untuk dia.

ah, mataku memanas, bahkan kepergianmu menjadikan kami lebih kuat. Anak-anakmu tidak pernah bertengkar, berbahagialah untuk itu. Tidak seorangpun anakmu berani menyakiti hati kekasihmu, dia kami hormati sepenuh hati, dengan segenap jiwa kami. Maaf kan aku tidak pernah berdoa untuk ketenanganmu di sana, aku bahkan tidak yakin ada yang mau mendengarkan doa dariku, tapi katanya Dia maha pengampun dan penuh kasih.... aku hanya harus berjalan menuju Dia katanya, di sinilah aku mencoba membunuh rasionalitas yang me-maha-dewakan dirinya, agar kau tidak sekedar hilang menuju tiada seperti ditulis demostran putus asa itu.

Pada awan-awan merah ke-emasan saat itu aku melihat wajahmu, seperti sekarang yang kulihat di langit-langit kamar kontrakan yang sempit ini.... bayanganmu semakin kabur... air mataku turun. Kali ini aku ingin minta maaf, entah untuk apa, aku tidak tahu... aku tidak tahu... harusnya, sekarang aku mampu membuatmu bahagia, oh Tuhaaaaan, aku mau melihatmu tersenyum, sekali lagiiiiii saja... sekali lagi saja :'(

"...I wish You could stay
but I'll, I'll wait for the day..." --Remembering You by Steven Curtis Chapman

Tidak ada komentar: