Halaman

Senin, 04 Juni 2012

Pembimbing

Dia tidak muda lagi, dan seperti biasa aku menjumpainya di ruang kerjanya yang luar biasa berantakan. Rambutnya dipenuhi uban, ada bekas terbakar matahari di mukanya, kenang-kenangan sewaktu dulu banyak bekerja di lapangan. Waktu aku tiba, ada tiga orang mahasiswa muda, mungkin baru tingkat satu atau tingkat dua bersamanya membicarakan suatu acara yang didukungnya. Dia masih aktif diberbagai kegiatan, masih diminta menggalang kekuatan untuk beberapa golongan. tapi jelas dia sudah tidak seperkasa dulu, matanya letih... senyum nya tidak lebar, dan jika kau baru mengenalnya, tawanya akan terdengar jauh lebih hambar dari pada tawa kebanyakan.

Sejujurnya kami tidak sangat dekat, aku hanya mahasiswa bimbingannya waktu mengambil master di geofisika reservoar. Salah satu mata kuliah yang diajarkannya adalah instrumentasi, dan dia menjelaskan konsep resonansi dengan analogi cinta, frekuensi dari sumber getaran yang sama dengan frekuensi diri objek disekitarnya akan menghasilkan fenomena resonansi, pun begitu hadirnya cinta, demikian beliau menjelaskan kepada kami. Suatu ketika di kelas pernah kami secara bergiliran membaca buku yang ditulisnya, buku itu tentang soekarno muda dan perempuan-perempuan muda di sekitarnya, salah satu yang paling menarik adalah ketika soekarno muda jatuh cinta pada seorang perempuan Belanda, dia menulisnya dengan sangat indah. Tidak berakhir bahagia, namun membuat semuanya tersenyum pada akhir cerita.

Aku masih berdiri memperhatikan dia mengangkat telpon dari seseorang:

'saya sedang ada tamu'

.....suara dari seberang, tidak terdengar olehku


'Dari ITB, iya urusan kuliah'

....dia mendengarkan suara dari lawan bicaranya lagi


'Ini si Haikal, Haikal Sedayo yang datang'

akhirnya pembicaraan telpon itu disudahi, akupun dipersilahkan duduk. Tanpa basa-basi dia segera menyelesaikan urusan yang kuminta dan menyerahkan berkas itu kembali padaku. dia duduk, napasnya dihela panjang seolah ingin membuang semua beban.

'Semakin tinggi, urusan semakin banyak'

Dia bercerita seolah pada dirinya sendiri

'lama-lama kita mulai diminta mengurus segala hal yang bukan keahlian kita'

Aku diam, merenungi bahwa akupun diminta melakukan hal yang sama

'Hukum lah, manajemen lah, dan segala macam hal lainnya yang dulu tidak kita pelajari'

matanya menerawang jauh, mataku terpaku pada wajahnya.
Dia sudah menjadi legenda saat mengajar dari atas kursi roda, dia telah menjadi legenda sejak kelasnya di pindah ke ruangan bawah karena jatungnya sudah tidak kuat untuk naik tangga ke lantai dua, ruang di mana kami biasanya menerima kuliah.

Aku pamit, menjabat tangannya, mengucapkan terimakasih.
itu terimakasih telah mengajariku banyak hal, itu terimakasih untuk mengingatkan aku, masih banyak orang yang "benar-benar" cerdas, dan aku hanya satu lagi dari muridnya yang sangat menghormati beliau.


Tidak ada komentar: