Halaman

Rabu, 21 Agustus 2013

Sastra Bumi

Sudah lama tidak mendengar kata itu :)

Sambil menikmati semangkok sop kambing diikuti sebatang kretek, saya tersenyum membaca mention teman-teman seangkatan di geofisika reservoar UI, intinya mengucapkan selamat pada seorang kawan yang berulang tahun. Kemudian sang ultah-boy (man?? :p ) membalas, 'terimakasih banyak teman-teman satra bumi'. Begitulah angkatan kami menyebut program studi kami kala itu. 

Iya, bagi saya pribadi begitulah ungkapan yang paling tepat :)

Memahami bumi, belajar ilmu kebumian tidak ubah seperti menikmati sastra. Interpretasi gelombang suara yang direkam di permukaan adalah puisi ibu bumi yang kami nikmati, lalu kami coba mengerti semampu kami melalui hukum-hukum fisika yang diterjemahlan dengan bahasa matematika. Bagaimana lempeng bergerak karena arus konveksi dan pertemuan diantara nya melahirkan akumulasi energi yang terlepas sebagai gempa adalah roman yang kadang berakhir tragedi saat manusia tidak bersiap atas segalanya. Inversi sumber gempa dari pengamatan geodetik rasanya tidak ubah seperti membaca prosa rumi atau syair gibran yang jauh lebih dalam dari pada yang terlihat semestinya. Gores, patahan dan lipatan serta kandungan mineral batuan bercerita tentang perjalanan nya serupa kerutan pada wajah yang di tempa usia.

Ah, begitulah... Aku sendiri rasanya tidak layak menyandang sebutan scientist, tapi setidaknya kami sangat menikmati apa yang kami coba mengerti dan bagaimana cara kami mencoba memahami bumi. 

Sastra bumi, iya, di sanalah saya berdiri dengan penuh kecintaan, jika kau tidak percaya, lihat anak ku, aku namakan dia "Bumi" kan? Hehehehe

Tidak ada komentar: