Halaman

Sabtu, 20 Juli 2013

Menunggu #2

Kemudian saat itu tiba. Jerit kesakitan berulang kali keluar dari bibir kekasihku, peluhnya membasahi seluruh tubuh seperti nil membanjiri dataran mesir. Pada tubir maut dengan sakit yang tak mampu kubayangkan, digenggamnya tanganku, dibisikannya namaku, jika tak diberi kuasa melewati ini supaya kujaga apa yang ditinggalkannya dengan pertaruhan hidup ini. Aku tersenyum, menghentikannya bicara, meyakinkan dia dan diriku sendiri agar kuat melewati jembatan ini, bahagia itu di sana sudah sedemikian dekat luar biasa dengan kami.

Akhirnya tangis sang bayi menggema, seketika kaki yang telah berkelana ke pelosok-pelosok negeri ini kehilangan tenaga. Aku terduduk mengucap syukur, menyeka bahagia yang tumpah di sudut mata, kulihat kekasihku terbaring di sana, senyumnya lemah namun wajahnya lega, kulihat anak kami di sana, tangisnya hebat menyambut atmosfer di luar tubuh ibunya, kulitnya merah, tangannya menggapai-gapai udara, aku berdoa agar kelak tangan itu bisa menyentuh langit biru di atas sana.

Bahagiaku?? Jangan kau tanya lagi, aku belum pernah selega dan sebahagia ini. Selamat datang Bumi Biru Kelana, tumbuhlah bersama kami, kelak berjalanlah ke segala penjuru, jatuh cintalah, belajarlah dari kesalahanmu, gali kebijaksanaanmu hingga sedalam samudera dan beranganlah setinggi langit yang biru, jangan lupa untuk memastikan agar hatimu selalu mengakar di bumi.

Tidak ada komentar: