Halaman

Minggu, 10 Juni 2012

Jaln Blora Part-2

Sekali lagi aku duduk sendiri di jalan ini menikmati lalu lalang kendaraan.Jalan Blora baru menyala. Beberapa bar mulai buka dan tempatku ini adalah convenient store baru. Sebotol cola dan camilan rumput laut menjadi kawan malam ini. Aku kesini mengantarkan dokumen untuk dikirimkan. Dokumen itu sudah diantarkan, di dalamnya nasibku digantung, terpenjara dalam kebuntuan atau menjadi lebih cerdas menyikapi semua.

Tapi semua ini bukan tentang nasibku, bukan tentang dokumen itu dan bukan segalanya tentang aku. Cerita kali ini sekali lagi tentang jalan ini, Jalan Blora, salah satu sudut di ibukota.

Ruas jalan menuju tempat sekarang aku duduk dipenuhi puluhan joki 3 in 1 yang berdiri mengharap sedikit rezeki hari ini. Ada perempuan muda dengan dandanan norak, para bocah, ibu-ibu, bahkan nenek-nenek menggendong bayi. Kaum ini adalah kasta terendah di jalan ini, pengemis terselubung, kaum tanpa modal, kaum-kaum tertindas, tertindas siapa? entahlah.

Sepanjang pengamatanku, tukang parkir adalah kasta kedua. Jumlah mereka sangat sedikit, mungkin paling sedikit di antara dari semua kaum penghuni luas ruas ini. Sebagian memakai T-shirt lusuh dan sebagian lagi berseragam biru laut dengan lambang pemerintah daerah di lengan kiri, tidak kalah lusuh. Mereka mengatur kendaraan-kendaraan yang parkir di depan bar-bar dangdut, yang keluar masuk pelataran sebuah pool travel atau yang singgah di convenient store tempat sekarang aku duduk. Penghasilan mereka rata-rata lebih besar dari joki 3 in 1 tapi tetap tidak banyak tentu saja.

Lagu pop terdengar kencang dari speaker toko tempat aku duduk, bersaing keras dengan bising knalpot kendaraan yang melintas menuju selatan. Ya, hanya ke Selatan. Jalan ini awalnya mengarah ke barat kemudian berbelok ke Selatan, kelak di sudut lain ia berbelok lagi ke Timur tapi satu arah, hanya satu arah, seolah mencerminkan waktu yang hanya mampu bergerak satu arah, merepresentasikan waktu yang hanya bergerak maju.

para pedagang kaki lima sibuk melayani pembeli, setelah magrib adalah waktu terbaik mereka mendulang rezeki, para pegawai pulang kantor dengan lelah, mengisi perut, membeli rokok, vitamin, minuman berenergi atau sekedar tissue basah untuk menyeka keringat dan berharap membersihkan sedikit stress di wajah mereka. Para pedagang kaki lima adalah kasta ke empat di ruas jalan ini setelah tukang Ojek.

Para pegawai yang berjalan kaki pulang, satpam karoake, para waria dan pramuniaga adalah kasta kelima setelah tukang ojek. Mereka kaum kebanyakan, kaum yang tidak pernah merasa cukup pun tidak pernah benar-benar kekurangan. tidak banyak cerita tentang kaum ini, aku ada di sana bersama mereka dan menceritakan mereka hanya akan membuat aku seolah berbicara tentang diri sendiri.

kasta ke-enam adalah polisi, ksatria sipil, pendekar yang seharusnya selalu mengayomi rakyat. tapi polisi yang kutemui di sini kebanyakan hanya prajurit kelas bawah dengan senapan laras panjang penjaga uang ATM tidak lebih prajurit bayaran para saudagar di masa lalu, centeng industri kapitalis. Sebagian malah tukang peras, kriminal berseragam. Satpol PP tidak pernah mengusik daerah ini, para polisi pemeras adalah penjaga daerah ini dengan setoran rutin tiap minggu. Begitu yang kudengar, dan aku tidak punya waktu untuk memeriksa kebenaran cerita ini. hati menyuruh percaya saja, buat apa bapak-bapak penjual mie ayam berbohong dan punya konspirasi tingkat tinggi untuk menyerang citra korp kepolisian yang memang sudah tidak wangi lagi?

waktu ku habis di sini. aku tidak bisa mengamati lebih jauh lagi, batere ponsel sudah habis, cola sudah kering dan cemilan rumput laut hanya tinggal remah, seperti cerita ini yang besok hanya jadi kerikil-kerikil kecil dalam perjalanan kita, baik kalian yang membaca ataupun aku yang menulis.

seperti biasa, aku tulis sekedar untuk mengingat lebih lama sebelum hilang bersenyawa dengan udara. Aku ingin menyimpan kerikil-kerikil kecil ini. Mengapa? Entahlah!

Tidak ada komentar: