Halaman

Jumat, 19 Agustus 2011

Menghargai Wanita

Topik ini bukan sekali dua kali aku dengar dan aku baca, tidak pernah sungguh-sungguh kutempatkan dalam salah satu sudut di kamar pemikiranku untuk ditelaah dan dilihat lebih dalam. Seperti dogma agama kewajiban untuk menghormati wanita sudah mengakar pada darah kami orang melayu, ajaran nabi menyebut ibu tiga kali lebih dulu untuk dihormati sebelum menghormati ayah yang menghidupi keluarga. Aku yang dihadiahi 3 adik perempuan oleh kedua orang tua ku diingatkan betul-betul untuk menghormati makhluk yang diciptakan dari rusuk lelaki kesepian di surga tuhan yang indah namun hampa. Kesetian mama, rasa sayang pada ketiga adik-adik ku dan doa mereka yang menguatkanku adalah ajaran tanpa kata-kata yang bersemayam di pembuluh-pembuluh darahku untuk mengingatkanku agar menghargai kaum hawa, makhluk yang kerap menjelma rindu, nafsu, sayap malaikat, tak jarang menjelma tanduk-tanduk setan dari neraka yang paling panas (paling dingin???).

Bandung dingin malam itu, aku baru selesai mengantarkan pacarku pulang. Menumpang taksi abu-abu aku pulang menuju hotel di dekat sebuah kampus di mana besok aku harus kembali mengikuti kuliah umum tentang gerakan beberapa cm kerak bumi setiap tahun dan hubungannya dengan kegempaan. Taksi melaju pelan, meski argonya tetap kencang, 50.000 rupiah tertera di argo itu saat aku sampai di tujuan dan melirik argometer sebelum melihat isi dompet hadiah ulang tahun yang setia setahun ini menempel di pantatku serupa bisul ku bawa kemana-mana.

Seorang perempuan muda berlari sambil menangis, lelaki muda dengan muka tidak kalah jelek dengan kelakuannya mengejar, menarik tangannya dengan kasar, menyentakkan tubuhnya, menghempaskan perempuan itu kepelukannya, menarik pakaiannya, mendorongnya kembali ke tempat semula. Perempuan itu melawan, apa daya tenaganya kalah jauh tentu saja. Kasihan dia... Air matanya penuh, dia dipaksa masuk kembali ke sebuah restoran. Rambutnya sudah kusut, pakaiannya kusut, lelaki sampah itu tidak peduli, terus setengah menyeret membawanya kembali. Aku marah, ingin rasanya berteriak memaki monyet berkelamin laki-laki yang menyaru manusia itu... Niat kubatalkan demi melihat perempuan muda itu luruh dan akhirnya sesegukan di bahu manusia kera yang ternyata sudah terlanjur mencuri hatinya itu. Dia di kalahkan cinta! Seperti hampir semua kita juga.

Tidak bisakah lelaki monyet itu bertindak sedikit lebih lembut dan bersahabat pada perempuannya?

Tuhanku... Mulai sekarang aku akan menghitung permintaanku kepadamu. Permintaan pertama yang kuhitung ini adalah agar kau lindungi aku dari sikap kasar terhadap makhluk mulia yang kau berikan perintahkan untuk menjadi insan yang harus dihormati tiga kali lebih utama dari kaum ku dan permintaanku yang kedua adalah agar aku tetap manusia, tidak menjadi monyet!

Regard


Haikal Sedayo

Tidak ada komentar: