Halaman

Minggu, 01 Agustus 2010

dan ingatan.tentang.masa.lalu.ada.di.setiap.sudutnya

Kaki nya sampai di pelataran sebuah kos2an di solo. Kota baru yang didatangi nya untuk menuntut ilmu. Dia, seorang pemuda dari sebuah kampung kecil bernama delima.

Banyak sudah liku hidup saat dia menghabiskan waktu mengejar selembar ijazah, demi bukti telah di khatamnya semua kitab yang diwajibkan gurunya, telah di selesaikannya semua ujian yang harus ditempuhnya. Dia lulus, bermodalkan nekad dan nyali sebesar gunung dan uang 5 rupiah sebagai ongkos kereta api, pemuda itu melaju ke ibukota negri, ke jalan gajahmada, jakarta, bertekad bertemu mentri untuk meminta kerja.

"Ini cerita datuk" berkata pemuda yang sekarang sudah renta dimakan usia itu di hadapanku. Bagaimana dia lolos dari pasukan keamanan kementrian perdagangan, bagaimana dia akhirnya sampai di depan pintu kamar kerja menteri, bagaimana hatinya dag dig dug ketika mengetuk pintu itu dengan hanya bermodalkan selembar tanda lulus dan bagaimana galaunya hati saat dari dalam ruangan terdengar perintah : "MASUK!".

Di hadapan menteri perindustrian dan perdagangan kala itu dia menghadap, dengan tekad yg tiada takut apapun jua kecuali tuhan yang maha esa, dengan basmalah, inilah dia dihadapan tuan menteri. Celana setengah tiang, muka yang menantang dunia.

Tuan menteri bingung, sang pemuda entah darimana tanpa janji tiba diruang kerjanya. Sang pemuda dengan hati bak genderang perang, menguat-nguatkan hati meletakkan surat perintah belajar dan tanda lulus di atas meja menteri.

"Inilah surat perintah saya untuk belajar di solo. Dan inilah tanda lulus saya, sudah saya tunaikan perintah tuan menteri di bengkulu sekian tahun silam, disinilah saya, menghadap. Beri saya pekerjaan tuan, tujukkan kemana saya harus membaktikan diri."

Bapak menteri tercenung. Dibacanya pelan2 itu surat perintah dengan tanda tangannya. Beliau diam, diambilnya sebuah nota, dimasukkannya ke dalam amplop.

"Anak muda, pergilah ke biro kepegawaian, bawahlah surat saya."

Selesai berkata tuan menteri segera kembali menekuni pekerjaannya, dia adalah menteri yang mengabdikan hidupnya untuk negara, dia bahkan tidak punya waktu untuk memarahi seorang pemuda yang dengan lancang berdiri di depan meja kerjanya, meja di mana dia menulis berupa-rupa surat dan makalah, konsep serta cetak biru perindustrian dan perdagangan untuk indonesia.

Pemuda itu diangkat, pada jabatan dan golongan sesuai pendidikannya, dikembalikan ke daerah asalnya, sesuai permohonan dan harapan bapak mentri, agar menjadi kader muda yang membangun daerahnya.

Inilah dia sekarang, yang renta dan duduk menerawang masa mudanya di hadapanku. Yang 60 tahun mendedikasikan hidupnya demi tugas yang telah diberikan bapak mentri.

"Ingatlah, jangan sekali-kali membeli jabatan, tapi jika dipercayakan sebuah jabatan peliharalah baik-baik, itulah amanah dari Allah, jagalah seperti kamu menjaga sholatmu"

dia berkata lirih, aku tertunduk... Aku tidak tahu harus bicara apa. Teologi yang pernah kukenal menjadi mahluk paling terkutuk saat ini, terlaknatlah aku.

Pemuda itu, yang dulu gagah menantang dunia, sekarang renta... Wajah nya teduh, pendengarannya telah terganggu, tatapannya masih tajam menghujamku.

"Ayahmu, adalah orang yang dulu paling bersemangat untuk sekolah" dia melanjutkan ceritanya, aku tertegun, hatiku terusik, ingatan tentang laki2 itu tiba2 seperti berlomba ingin keluar dan disebut. Ingatan yang hidup dalam diam di tiap sudut rumah yang dibangunnya selama enam tahun, yang setiap pojoknya pernah diperiksa dan disentuhnya dengan kasih sayang seolah berkata: berdirilah yang kokoh, tempat nanti istriku bernaung, tempat anak2ku kembali tetirah setelah letih berkelana.

Pemuda yang kemudian pegawai pemerintah setelah menghadap seorang menteri yang baik hati, yang lalu menjadi kepala kanwil deperindag rejang lebong, paman dari ayahku. Menyekolahkan ayahku ke PGA, sekolah pendidikan guru agama. Agar keponakannya menjadi orang yang taat, penyejuk hati keluarga, penerang bagi umat, penyambung semangatnya untuk terus belajar.

Hari berganti, tahun-tahun lewat, keponakannya lulus PGA. Dia bertanya, "kau masih mau sekolah?" Laki2 muda yang ditanya menganggukkan kepala. Maka dimasukkannya keponakannya itu ke sekolah teknik pertama dan hingga detik ini masih satu2 nya di kota kami.

Itu hari pertama katanya, kepala sekolah teknik yang tak lain temannya berkata "sudah sering kumasukkan orang dari smp, dari sekolah rakyat, tapi belum ada yang dari PGA yang cuma tau mengaji dan kitab hadist ke sekolah teknik ini". Dia tersenyum, aku membayangkan senyum yang sama seperti senyum yang kulihat sekarang tersungging di bibirnya.

Waktu kembali berlompatan, hingga tiba masanya kelulusan sekolah teknik angkatan ke sekian itu. Pemuda yang kelak kupanggil papa lulus, dia kembali ke sekolah teknik sebagai wali, dan kembali berjumpa temannya, dengan santai dia tertawa dan berkata : "bagaimana ayam titipan saya yang dari PGA??" Sang kepala sekolah tertawa sambil mengacungkan 2 jempolnya untuk prestasi anak wali temannya. Mereka tertawa dan berangkulan, sekarangpun dia yang sudah renta, yang tangannya telah gemetar bila mengangkat secangkir teh hangat kembali tertawa mengenang anak walinya, laki2 yang sama-sama kami cintai.

Laki2 ini, yang dulu sedemikian keras dan lelah mendorong ayahku untuk bersekolah, untuk mencintai ilmunya, untuk mengamalkan ilmunya, untuk membiayai segala keperluannya. Dan sekarang dengan tulang yang telah rapuh masih dengan keras membakar semangat yang menyala segan di dadaku.

Belum pernah aku begitu menghargai laki-laki ini seperti hari ini, belum pernah aku ingin memeluk dan mencium surbannya seperti hari ini.

Terimakasih, terimakasih, terimakasih dulu telah mendidik ayahku, sehingga aku pun dididik dengan cara yang sama luar biasanya.

Terimakasih, terimakasih, untuk semangat yang sekali lagi menyala lewat tatapan dan riwayat yang kau ceritakan.

"Aku ceritakan kisahku, aku ceritakan kisah ayahmu yang mungkin belum sempat diceritakannya kepadamu. Dan kelak, adalah kewajibanmu untuk meneruskan semangat kami, cerita kami, beserta sekalian jua semangat dan kisahmu sendiri."

Lelaki itu pulang membelakangi senja, cahaya kuning keemasan membanjiri punggungnya yang telah bungkuk melintasi gang rumah kami yang sempit.

Aku kembali ke dalam rumah setelah tubuhnya menghilang di tikungan. Dan tiba-tiba semua kembali berloncatan, ada kenangan masa lalu di tiap sudutnya.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar: