Anjasmara ari mami
mas mirah kulaka warta
dasihmu tan wurung layon
aneng kutha Prabalingga
prang tandhing Wurubhisma
karia mukti wong ayu
pun kakang pamit palastra.
Aku telah coba agar kau temukan diri mu dalam mataku, buat kau temukan jalanmu di langkah ku, tapi tentu kau setara pandawa yang perkasa... jalan menuju hatimu harus kau temukan sendiri, dan aku harus belajar menjadi sekuat anjasmara melepas mu yang "mungkin" tidak akan kembali memeluk malam bersamaku di selimut kusam ini....
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta,
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya
disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok
pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,
ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba,
karena ia tak berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
(Goenawan Mohamad, 1992: 44)
Aku buka genggaman ku yang memaksa kau berada dalam lingkup gaib selimut ini, kau hanya perlu melangkah, maka akan kau masuki hingar bingar stasiun kereta ini, mungkin kau akan menaiki kereta terakhir malam ini, aku di sini menunggu semoga kau kembali atau setidaknya mengingat di mana kita lewati keramain dalam kesepian dibalik dunia ajaib ini, yang hanya ada aku, yang hanya ada kamu.
itu paggilan naik untuk kereta terakhir,... bergegas lah. aku akan segera menyusul, dan akan kumenangkan hatimu kembali.... sebelum itu, biar ku musnahkan dulu selimut gaib ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar